Wednesday, October 17, 2012

Saat Dia Memegang Tanganku, Aku Memegang Cinta



Aku jatuh hati pada seorang kekasih yang dalam diamnya dia berkata, “Aku menjagamu, dari mereka, dari dirimu, bahkan dari diriku sendiri.”
Aku jatuh hati pada seorang anak yang dalam baktinya dia berniat, “Ini untuk ibuku, setiap sujud dan langkahku di semesta Tuhanku.”
Aku jatuh hati pada seorang adik yang dalam candanya dia berterima kasih, “Pengalaman kakak-kakakku adalah ensiklopedia bagiku.”
Aku jatuh hati pada seorang sahabat yang dalam tatap lembutnya dia berkata, “Aku akan tetap ada untukmu, dalam suka maupun bencimu.”
Aku jatuh hati pada seorang (calon) ayah yang dalam setiap peluhnya dia berharap, “Anak-anakku akan dan harus lebih baik dariku.”

Dia, lelaki biasa yang membuatku tersenyum dan tertawa hanya dengan melihatnya.
Dia, lelaki biasa yang masih tetap mengusap kepalaku saat kemarahan menguasai hatinya.
Dia, lelaki biasa yang masih berharap akan ada (lelaki) yang bisa menjagaku saat kami terpisah meski dalam hatinya terbakar cemburu.
Dia, lelaki biasa yang dalam keluguannya tetap ada saat aku berurai air mata walau ia tak tahu harus berbuat apa.
Dia, lelaki biasa yang hadir dengan seember es krim alih-alih setangkai mawar ataupun selembar puisi.
Dia, lelaki yang .... Dia lelakiku

Saat aku mencintainya, itulah cinta
Saat dia tertawa, itulah cinta
Saat dia cemberut, aku tetap cinta
Saat dia marahpun, aku masih cinta
Saat dia menyebalkan, aku juga cinta.
Saat dia memegang tanganku, aku memegang cinta.

Tuesday, August 14, 2012

8 months passed >> Don't cry like a chicken please...PLEASE..!!! Don't think, just fucking do it!!!!!

-Desperately missing you-

Thursday, May 24, 2012

Kematian

Akhir-akhir ini aku sering berpikir tentang kematian. Jujur, kematian membuatku takut. Menakutkan jika aku berpikir bahwa siapa saja bisa dengan mudah dan tiba-tiba meninggalkanku secara sempurna. Orang-orang yang aku harapkan ada di dalam masa depanku, di dalam rencana yang aku susun, bahkan di dalam pondasi yang sudah mulai aku bangun bisa saja "gagal secara sempurna" karena kematian. Kematian itu begitu menakjubkan, mendasari tanda tanya agung akan keberadaan si pemilik nyawa. Aku tak pernah melihat secara gamblang bagaimana nyawa, ruh, jiwa (entah apa bedanya) ditiupkan ke dalam jasad. Sekedar tahu saat perut wanita semakin membesar dan beberapa waktu kemudian ter"produksi"lah tubuh berisi nyawa. Atau saat aku mengamati sebuah telur dan bertanya-tanya apa di dalam situ terdapat nyawa dan saat aku memecahnya di atas penggorengan maka aku telah melenyapkan sebuah nyawa? Ataukah nyawa itu tak bisa lenyap? Seperti jika tubuh termutilasi (ayam di pasar contohnya) namun nyawa yang tadinya mendiami si tubuh tetap utuh? Jadi apa itu nyawa? Dia yang membuat kata "hidup" itu ada. Semacam energi yang tercipta namun tak bisa musnah? 


Banyak orang yang dengan mudah mengatakan jika ia menginginkan kematian, "Jadi Elo selama ini selingkuh. Padahal gue tuh udah setia & cinta mati sama Elo. Mati aja Lo sana!" Benarkah kata-kata itu? Aku jadi membayangkan, jika si "Elo" tanpa sebab tiba-tiba mati dan si "gue" yang katanya cinta mati sama si "Elo"  jadi kehilangan harapan karena cinta matinya telah mati. (jadi bertanya-tanya kenapa sih, cinta harus diembel-embeli dengan kata mati juga? Maksudnya apa coba?) Apa si "gue" nggak menyesal dan balik bilang," Gue rela Elo tinggalin dengan orang lain, tapi jangan tinggalin Gue pake mati begini."? 

Sesuatu terasa begitu berharga saat sesuatu itu sudah tidak ada. Jadi pesan untuk "Gue", jikalau suatu ketika memang hal ini terjadi sama kamu, semenyebalkan apapun orang yang kamu cintai: pacar yang selingkuh, orang tua yang diktator, anak yang bandel setengah mati (lagi-lagi bertemu kata-kata "mati") jangan pernah mengharap mati kepada mereka. Bukankah orang idiot (atau bijaksana?) bilang, "Love sets you free". Jangan merasa terikat dan memiliki, karena kita memang tak pernah memiliki. Cintai saja mereka dengan cinta yang membebaskan.

Satu hal, bagaimana jika posisinya dibalik. Aku yang mati. Akankah sesuatu berubah? 
Sepertinya untuk tahu itu aku harus melakukan yang namanya "arti hidup" Aku harus melakukan perubahan yang berarti positif selama aku hidup, maka akan ada yang berubah saat aku mati. 

Kematian, kelak aku ingin memelukmu dalam kedamaian. Antar aku ke tempat yang lebih indah dari kehidupan. 


Saturday, April 7, 2012

Uban Pertama

Happy Birthday Adelina! 22...
WOW! Kira-kira berapa persen dari jatah umurku ya? Pertanyaan ironis: Apa yang sudah aku lakukan seumur hidupku? Jika 1/3 dari hidupku aku habiskan untuk tidur, berarti sudah 7 tahun lebih aku tertidur à pernyataan yang tragis. Hahaha,, Yah, seperti manusia pada umumnya, aku menginginkan hal-hal seperti muda foya-foya, tua kaya raya dan mati masuk surga (Tidak munafik kan?). Pertanyaannya, apa mungkin? Setidaknya aku berusaha mewujudkannya. Dimulai dari patuh terhadap orang tua (ridha orang tua, ridhanya Tuhan, betul?). Aku termasuk dalam kategori “anak patuh” bukan? Kalian yang mengenalku pasti akan menjawab “iya” --Eh, Tidak? Benarkah? Ya, mungkin aku sedikit keras kepala, keras hati, egois, dan “ngeyel”. Tetapi aku berusaha mewujudkan apa yang orang tuaku pinta kok! Mereka menginginkan aku juara kelas (aku pernah mendapat ranking 1 di SMP dan SMA, beberapa kali malah) dan mereka menginginkanku untuk lulus kuliah tepat waktu (aku lulus kuliah S1 empat tahun kurang 1 minggu, tepat waktu kan?) dan hal-hal lain seperti tidak hamil di luar nikah dan lain sebagainya. Orang tuaku sudah cukup membuatku bisa berfoya-foya di kala aku muda, seperti membelikanku komputer pentium 1 di usiaku 5 tahun (lengkap dengan permainan orang purba yang mengumpulkan poin dengan berburu dan meramu daging dinosaurus, “best game forever for me”), pesta barbeque di akhir bulan, dan memenuhi segala kebutuhan primer, sebagian kebutuhan sekunder, dan beberapa kebutuhan tersier. Kini aku sedang memikirkan agar tua-ku menjadi kaya raya dan tetap berusaha agar kelak setelah mati, aku bisa masuk surga. Hohoho,,
Ah, jangan anggap serius kata-kataku di atas yang sombong, kemaki, kemlithak, kementhus (banyumasan –red) itu ya? Untuk menghibur diri saja.

Di usiaku yang menginjak 22 tahun ini, aku sedang berlatih menjamah kehidupan yang mandiri, jauh dari orang tua. (Aceh-Cilacap jauh kan?). Sudah 4 bulan kurang 5 hari aku berada di tanah rencong ini. Sudah menjadi guru, sudah bisa tidur tanpa bantal guling di dalam rumah kayu beratap seng, bisa hidup tanpa bioskop dan ice cream, sudah pernah merasakan makan karena lapar (bukan karena suka/doyan), sudah merasakan hidup tanpa listrik dan sinyal beberapa kali, sudah pernah mandi di sungai dan banyak pengalaman menantang lain. Seperti pepatah, jika ingin merasakan kebahagiaan yang sempurna, kau harus pernah merasakan penderitaan puncak. Kebahagiaan dan penderitaan selalu bersisian, kau harus memilih dan mengorbankan salah satu. Sebagian darimu mungkin lebih memilih untuk hidup di kota dengan sejuta kerlip lampu di malam hari, namun disini aku bisa melihat milyaran bintang di langit yang tak bisa kau lihat dari kotamu. Atau disana kau bisa mendengar suara musik mendentum, disini aku bisa mendengar ribuan burung bernyanyi yang kau kira mungkin telah punah. Walaupun tekanan dari berbagai sisi tidak bisa dikatakan ringan, aku lebih memilih jalan yang indah, bukan jalan yang mudah. 



Oh ya, baru sore tadi aku menemukan sehelai uban di antara rambutku. Wah, rasanya seperti ditampar kesadaran bahwa aku sudah bukan anak kecil lagi. Sudah seharusnya mulai menata pondasi kehidupan dewasa. Mungkin pengalaman yang meletakanku pada titik terbawah kehidupanku ini bisa membuatku lebih menghargai dan mensyukuri kenikmatan-kenikmatan sederhana sebagai kenikmatan yang luar biasa. Juga dengan kembali merangkak dari bawah aku bisa merasakan setiap gradasi pencapaian yang aku raih. 



Di usia 22 tahun, aku menargetkan kematangan jiwa sebagai manusia dewasa, pekerjaan yang aku sukai dan sesuai dengan hati nurani, memperkaya diri (kaya itu relatif –kata seorang teman) dan satu hal yang ingin aku lakukan : mentraktir keluargaku makan di restoran. Haha,, Aamiin..

:: Ternyata aku memang anak muda yang sombong  (22 tahun itu masih muda Sob!) ^_^

Saturday, February 25, 2012

Ketika Menjadi yang Minoritas

Dulu rektor UNNES berkata saat pembekalan,"Jika disana kalian menangis, berarti kalian telah gagal!"
-- Dan itu berarti aku telah gagal, tidak hanya sekali, bahkan berkali-kali.
Berat? Iya. Bukan kalah medan atau susah makan, hanya merasa kesepian.
Menjadi SM-3T --Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Teluar dan Tertinggal yang ditempatkan di kabupaten Aceh Besar sebagian besar sudah mendapatkan fasilitas yang memadai. Aku ditempatkan di sebuah SMA Swasta Bina Nusa Lampanah yang baru 3 hari yang lalu berubah nama menjadi SMA Negeri 3 Seulimeum. Sebuah sekolah yang terletak di lembah Gunung Seulawah, berbukit-bukit namun sekaligus berbatasan dengan pantai selat Malaka. Walaupun dengan keterbatasan sarana transportasi umum, tempat ini adalah sebuah perpaduan alam yang sangat indah dengan ikan laut yang melimpah.


Sebuah sekolah dengan sejarah yang luar biasa. Di bangun untuk menampung anak-anak putus sekolah, yang tidak mampu melanjutkan sekolah di kota (Banda Aceh -red). Dibangun dari swadaya masyarakat setempat dengan kerja sama dan kerja keras sedikit demi sedikit. Lokasinya yang terletak > 2 KM dari kampung warga juga membuat anak-anak sekolah tersebut perlu mengorbankan sedikit peluh dan sol sepatunya untuk berangkat ke sekolah berjalan kaki. Dalam penglihatan sepintas hal itu terlihat sebagai pengorbanan yang luar biasa untuk pendidikan. Apa itu cukup? 

Selama 2 bulan 13 hari disini, aku sudah mulai merasakan, meraba, menelisik lapis demi lapis kehidupan masyarakat yang secara langsung atau tidak langsung bersinggungan dengan kegiatan yang aku lakukan. Sekolah ini tidak memiliki guru satu-pun. Semula, sekolah ini diampu oleh guru SMP N 4 Seulimeum yang letaknya bersebelahan dan yang juga dikepalai oleh kepala sekolah yang sama. Kini dengan kehadiran 6 orang peserta SM-3T, semua tugas guru dialihkan kepada kami. Hanya Tuhan yang tahu apakah akan membuahkan hasil yang baik membebankan tugas mengajar yang seharusnya diampu oleh 15 guru mata pelajaran, dipikul oleh hanya 6 guru. Kelas X kami beranggotakan 17 anak, kelas XI beranggotakan 21 anak, dan kelas XII beranggotakan 13 anak. Anak-anak yang sangat dibanggakan, yang diharapkan oleh semua orang serta yang di"gadhang-gadhang" kelak akan menjadi tentara, bidan, hingga pramugari. Bel masuk sekolah pukul 08.00 sepertinya kurang keras untuk memanggil mereka. Hanya mungkin sekitar 3 atau 4 anak yang baru menampakan batang hidungnya. Tak bisa disalahkan. Rumah yang jauh, kegiatan malam mereka yang padat (mengaji di malam hari, menginap di tempat mengaji dan baru pulang keesokan paginya) atau alasan membantu orang tua mereka di sawah. Pernah suatu ketika di kelas hanya duduk 3 orang anak dan surat izin menumpuk di atas meja guru. Sungguh anak yang berbakti terhadap orang tua, sungguh.
Kendala yang dihadapi di sini yaitu bahasa. Bahasa Aceh sungguh bahasa yang luar biasa, lebih sulit dibandingkan bahasa Inggris walaupun tidak memiliki tenses. Tulisan dan cara membacanya berbeda, serta memiliki kemiripan bunyi untuk beberapa kata. Saya akui, orang Aceh adalah orang yang sangat menjunjung tinggi bahasa daerah mereka. Dalam pidato formal bupati hingga khutbah sholat Jumat apalagi percakapan sehari-hari di rumah, mereka terbiasa menggunakan bahasa daerah. Kesulitannya, anak-anak sedari kecil tidak terbiasa dengan bahasa Indonesia. Mereka paham dan menggunakan bahasa Indonesia hanya ketika bercakap-cakap dengan orang non-Aceh, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dan saat menonton acara televisi nasional.
Masalah yang lain adalah sifat, sikap, kepribadian, pekerti (bedanya apa ya?) anak-anak itu. Kepala dinas pendidikan Aceh Besar pernah mengatakan, "Orang sini pemalas. Ini terjadi karena kedai-kedai kopi itu".
Hanya sekedar info, kedai kopi di sini sungguh luar biasa. Banyak dan selalu ramai dikunjungi pelanggan. Di setiap perkampungan pasti memiliki lebih dari satu kedai kopi. Dan di kota? Ukh, komplit pakai wifi area.  Jika kita keluar rumah pukul 06.30 (setengah jam setelah sholat subuh di masjid), kita bisa melihat sederet orang sudah duduk santai sambil menyeruput kopi dan melahap timphan (sejenis kue basah dari ubi). Anehnya hingga kedai ini tutup (sekitar jam 22.00 jika di kampung), tetap saja ramai dikunjungi orang apalagi saat musim pertandingan sepak bola. 
Yah, di lingkungan seperti ini, anak-anak malas membaca, belajar, bahkan rasa ingin tahunya saja sangatlah kurang. Ada semacam kebiasaan yang sulit diubah bahkan tidak mungkin diubah oleh kami yang bukan orang pribumi. Sikap anak-anak tehadap guru yang kurang menghormati dan menghargai siapa kami.

Apa yang harus aku lakukan? Cuek? Tutup mata? Let it flow? Aku hanya ingin keberadaan aku disini setidaknya membawa manfaat, tak hanya sebagai formalitas program pemerintah. 
-- Tuhan, kumohon berikan jalan untuk semua tuntutan dan ujian...

-Desperately missing home-