Tulisan ini aku tulis di halaman kedua dari sebuah surat yang
begitu lugu dan sedikit gombal juga disertai typo di sana-sini. Mungkin si penulis sudah tak sabar menyatakan
benaknya atau dia sedang meringkuk di pojok kamar, terburu-buru agar tak
terpergok teman satu kos. Jatuh cinta memang dapat menjadi sesuatu yang
memalukan. Bagaimana hal seperti itu bisa membuat degup jantung tak beraturan,
tangan gemetaran, dan tak ada sepatah katapun yang sanggup terucapkan.
Hai Cancerian yang mencinta, aku percaya padamu, pada cintamu,
pada ketulusanmu. Kamupun segigih Scrat
akan kacang kenarinya dan sesabar beruang besarnya Masha. Aku mengenalmu begitu lama, semenjak kita mengenakan baju
serba putih kala dokter kecil dulu. Lalu kita tumbuh bersama dalam seragam
putih biru dan disatukan di ruang putih abu-abu. Selama itu, apakah aku cukup
mengenalmu? Kita memang sama-sama saling tahu tentang cinta monyet masing-masing.
Begitu lugu, begitu lucu. Aku tahu seberapa tinggi nilai-nilaimu di kelas seni
dan olahraga. Begitu ironi, mengingat akulah yang terburuk di kelas itu. Sungguh
setengah mati aku iri padamu. Dan apakah kau mengenalku? Perempuan kaku, jutek,
pendiam dengan ukuran pipi yang tidak proporsional? Baiklah, kamu tahu
bagaimana mengeja nama belakangku dengan benar atau tahu mengenai rumor seberapa
galak ayahku. Tapi bukankah hanya sebatas itu?
Hai tetanggaku, aku baru sadar bahwa ternyata kita begitu
dekat. Sialnya, hubungan kita justru mendekat saat jarak kita demikian jauh. Hampir
setiap hari kulewati depan rumahmu yang dipergola pohon pare. Hampir setiap
pagi kulewati sekolah yang menjadi tempat pertama kali kita bertemu. Anehnya,
sudah berapa lama aku tak melihatmu? Lima tahun? Bisa kau bayangkan itu? Waktu
itu sedang masanya pak Prabowo akur dengan bu Mega. Kau lihat bagaimana waktu lima
tahun cukup lama untuk bisa membalikkan keadaan. Iya, itu lama. Kudengar kini
kau tak sekurus dulu. Syukurlah, kau lebih beruntung dariku.
Hai teman lamaku, bisakah kau---aku---kita sanggup
mempertahankan rasa? Aku telah mencobanya beberapa kali dan sebanyak itu pula
aku gagal. Cukupkah percayamu padaku untuk kau pertaruhkan dengan masa depan?
Cukup beranikah kita menghadapi kekhawatiran kita sendiri yang tak semua orang sanggup
melakukannya di usia kita? Bisakah “aku-kamu” membuat “kita” ini berhasil? Cukup
teguhkan “kita” untuk tidak menyerah satu sama lain? Tidaklah bijaksana membuat
janji di saat kita bahagia. Iya, aku bahagia bersamamu. Paling tidak, aku tertawa
sebanyak dulu.
Mas, menyukaimu, menyayangimu,
mencintaimu itu tidaklah sulit. Kamu begitu suka-able, sayang-able dan lovable. Biarkan jarak dan waktu yang
memantaskan kita. Ada banyak pertanyaan yang butuh jawaban pembuktian. Bukankah
selama ini kita sudah terlalu sering kecewa dengan janji tanpa bukti? Mari belajar
mendewasa. Kau tahu rumahku, ayahku di rumah. Belnya masih di pojok kiri pintu
gerbang. Akan kutunggu kau datang.