Saturday, June 7, 2014

Surat Balasan

Tulisan ini aku tulis di halaman kedua dari sebuah surat yang begitu lugu dan sedikit gombal juga disertai typo di sana-sini. Mungkin si penulis sudah tak sabar menyatakan benaknya atau dia sedang meringkuk di pojok kamar, terburu-buru agar tak terpergok teman satu kos. Jatuh cinta memang dapat menjadi sesuatu yang memalukan. Bagaimana hal seperti itu bisa membuat degup jantung tak beraturan, tangan gemetaran, dan tak ada sepatah katapun yang sanggup terucapkan.



Hai Cancerian yang mencinta, aku percaya padamu, pada cintamu, pada ketulusanmu. Kamupun segigih Scrat akan kacang kenarinya dan sesabar beruang besarnya Masha. Aku mengenalmu begitu lama, semenjak kita mengenakan baju serba putih kala dokter kecil dulu. Lalu kita tumbuh bersama dalam seragam putih biru dan disatukan di ruang putih abu-abu. Selama itu, apakah aku cukup mengenalmu? Kita memang sama-sama saling tahu tentang cinta monyet masing-masing. Begitu lugu, begitu lucu. Aku tahu seberapa tinggi nilai-nilaimu di kelas seni dan olahraga. Begitu ironi, mengingat akulah yang terburuk di kelas itu. Sungguh setengah mati aku iri padamu. Dan apakah kau mengenalku? Perempuan kaku, jutek, pendiam dengan ukuran pipi yang tidak proporsional? Baiklah, kamu tahu bagaimana mengeja nama belakangku dengan benar atau tahu mengenai rumor seberapa galak ayahku. Tapi bukankah hanya sebatas itu?

Hai tetanggaku, aku baru sadar bahwa ternyata kita begitu dekat. Sialnya, hubungan kita justru mendekat saat jarak kita demikian jauh. Hampir setiap hari kulewati depan rumahmu yang dipergola pohon pare. Hampir setiap pagi kulewati sekolah yang menjadi tempat pertama kali kita bertemu. Anehnya, sudah berapa lama aku tak melihatmu? Lima tahun? Bisa kau bayangkan itu? Waktu itu sedang masanya pak Prabowo akur dengan bu Mega. Kau lihat bagaimana waktu lima tahun cukup lama untuk bisa membalikkan keadaan. Iya, itu lama. Kudengar kini kau tak sekurus dulu. Syukurlah, kau lebih beruntung dariku.

Hai teman lamaku, bisakah kau---aku---kita sanggup mempertahankan rasa? Aku telah mencobanya beberapa kali dan sebanyak itu pula aku gagal. Cukupkah percayamu padaku untuk kau pertaruhkan dengan masa depan? Cukup beranikah kita menghadapi kekhawatiran kita sendiri yang tak semua orang sanggup melakukannya di usia kita? Bisakah “aku-kamu” membuat “kita” ini berhasil? Cukup teguhkan “kita” untuk tidak menyerah satu sama lain? Tidaklah bijaksana membuat janji di saat kita bahagia. Iya, aku bahagia bersamamu. Paling tidak, aku tertawa sebanyak dulu.

Mas, menyukaimu, menyayangimu, mencintaimu itu tidaklah sulit. Kamu begitu suka-able, sayang-able dan lovable. Biarkan jarak dan waktu yang memantaskan kita. Ada banyak pertanyaan yang butuh jawaban pembuktian. Bukankah selama ini kita sudah terlalu sering kecewa dengan janji tanpa bukti? Mari belajar mendewasa. Kau tahu rumahku, ayahku di rumah. Belnya masih di pojok kiri pintu gerbang. Akan kutunggu kau datang.