Kupunya bekas
luka yang nyerinya masih terasa. Nyeri
yang mengeja sejarah, hingga lupa itu tak punya celah. Seribu alasan ada untuk
meninggalkan, namun masih saja ada satu sangkalan untukku bertahan. Darinya kumengenal canda tawa, bahagianya
sebuah keluarga, dan indahnya mendewasa. Melalui matanya aku belajar terbuka.
Melalui tawanya aku tahu apa itu jenaka. Melalui genggaman tangannya aku
merasakan nyamannya bersama. Darinya pula kumengerti bahwa tak semua mimpi bisa
terjadi, elegi itu perlu kelapangan hati, dan sakit hati bukan hanya perih di
sini tapi seluruh tubuh terasa nyeri. Pandanganku berubah. Imajinasiku
goyah. Hujan sekejap mampu membuatku
meratap melesap dalam sembab dan tanpa sebab senyumku pun lenyap.
Dan kau kah itu,
pelangi setelah hujan serta garis perak di tepian awan? Tuan pelangi, kau indah
dengan warna yang mempesona mewah. Namun bukankah kau hanya bulir hujan yang
dibias sinar secercah. Sekejap lalu lenyap. Aku tak mungkin lancang meminta
keabadian, aku hanya butuh sebuah kepastian. Seperti mentari, tuan pelangi.
Yang pasti datang menyapa pagi walau kadang mendung tak merestui. Seperti
bulan, Tuan. Walau purnama tak selalu bisa bersama.
Hatiku tak lagi lunak, tidak pula luluh lantak. Ia mengeras seperti gelas. Pecahnya merajam, mungkin bisa menyakitimu tajam. Mustahil kembali utuh, yang ada hanya rapuh, melepuh tak dapat sembuh. Apa yang bisa kupercayakan selain tipisnya perasaan? Takkan bisa kuberkilah curang, walaupun kau jauh mundur ke belakang. Tuan, pernikahan memang bukan jaminan, tapi itulah restu Tuhan.
Hatiku tak lagi lunak, tidak pula luluh lantak. Ia mengeras seperti gelas. Pecahnya merajam, mungkin bisa menyakitimu tajam. Mustahil kembali utuh, yang ada hanya rapuh, melepuh tak dapat sembuh. Apa yang bisa kupercayakan selain tipisnya perasaan? Takkan bisa kuberkilah curang, walaupun kau jauh mundur ke belakang. Tuan, pernikahan memang bukan jaminan, tapi itulah restu Tuhan.