Thursday, July 24, 2014

Tuan Pelangi


Kupunya bekas luka yang nyerinya masih terasa.  Nyeri yang mengeja sejarah, hingga lupa itu tak punya celah. Seribu alasan ada untuk meninggalkan, namun masih saja ada satu sangkalan untukku bertahan. Darinya kumengenal canda tawa, bahagianya sebuah keluarga, dan indahnya mendewasa. Melalui matanya aku belajar terbuka. Melalui tawanya aku tahu apa itu jenaka. Melalui genggaman tangannya aku merasakan nyamannya bersama. Darinya pula kumengerti bahwa tak semua mimpi bisa terjadi, elegi itu perlu kelapangan hati, dan sakit hati bukan hanya perih di sini tapi seluruh tubuh terasa nyeri. Pandanganku berubah. Imajinasiku goyah.  Hujan sekejap mampu membuatku meratap melesap dalam sembab dan tanpa sebab senyumku pun lenyap.

Dan kau kah itu, pelangi setelah hujan serta garis perak di tepian awan? Tuan pelangi, kau indah dengan warna yang mempesona mewah. Namun bukankah kau hanya bulir hujan yang dibias sinar secercah. Sekejap lalu lenyap. Aku tak mungkin lancang meminta keabadian, aku hanya butuh sebuah kepastian. Seperti mentari, tuan pelangi. Yang pasti datang menyapa pagi walau kadang mendung tak merestui. Seperti bulan, Tuan. Walau purnama tak selalu bisa bersama.

Hatiku tak lagi lunak, tidak pula luluh lantak. Ia mengeras seperti gelas. Pecahnya merajam, mungkin bisa menyakitimu tajam. Mustahil kembali utuh, yang ada hanya rapuh, melepuh tak dapat sembuh. Apa yang bisa kupercayakan selain tipisnya perasaan? Takkan bisa kuberkilah curang, walaupun kau jauh mundur ke belakang. Tuan, pernikahan memang bukan jaminan,  tapi itulah restu Tuhan. 

Friday, July 11, 2014

Akupun Sayang


Telah kunyatakan perasaan dalam setiap helaan, kuulang hingga terdengar usang. Berbagai cara aku hadirkan demi hatimu yang sekian lama kurindukan. Saat akhirnya bibir tipismu mengiyakan, bahkan air mata terlalu sederhana untuk mewakili kebahagiaan. Lalu semalam, hatiku remuk redam, kau buat tiada dalam tangismu olehnya. Pengorbananku tak seberharga kenanganmu tentangnya. Andai saja kau bahagia, maka sakitku tidaklah seberapa. Sialnya kutemukan kau dalam keadaan hampa, nyaris tak bernyawa. Kau, perempuan yang begitu lama kudamba, hanya bersisa gema masa lalumu dengannya. Sesekali memang wajahmu merona, berbayang ponimu yang sealis mata. Kaupun tertawa dan aku mulai percaya bahwa kau memberiku cinta. 

Gadisku, katakanlah pintamu. Jikapun kau memilihnya, tak peduli caranya kau harus berbahagia. Dan bila ternyata bersamaku adalah inginmu, aku tak ingin lagi ada sendu yang memilu. Sayangku, jawablah tanyaku. Haruskah tetap kugenggam tanganmu saat kau tolehkan wajahmu pada masa lalu?

Sayang, ini yang aku punya. Mungkin tidak terlalu banyak tawa, namun tak akan pernah kubiarkan ada lara. Mungkin tak terlalu banyak waktu, tapi kupastikan semua ini tidaklah palsu. Pilihlah, putuskanlah, berbahagialah. Percayalah, ini bukan pasrah. Satu hal tentangku terhadapmu: aku tak akan pernah menyerah. 

Thursday, July 10, 2014

Petang


Di mana kita? Petang berselimut pilu menyandang kenangan. Belumlah malam, siangpun bukan. Aku tak bisa berhenti di tempat dan waktu yang memang seharusnya aku berdiri. Seperti halnya mencintaimu, berhenti itu mati. Kau tahu apa yang begitu menyebalkan? Aku terus menunggumu dan kamu selalu bilang kelak kita akan. Kau tahu apa yang begitu jahat? Kau menyuruhku bahagia tanpa berani mengawal bahagiaku dari dekat. Lalu kau menggerutu, mengiba dan mengubahku menjadi sosok nenek sihir yang mengambil puteri terkasihmu.

Kau meninggalkanku di keadaan yang pernah terpikirkan olehku pun enggan. Sadarkah kau aku begitu ketakutan saat kau jatuhkan vonis perpisahan. Bagaimana rasanya tak buta namun tak lagi ada warna, bagaimana rasanya tak tuli tapi semua mendadak sunyi dan bagaimana bisa aku ada tapi tak merasa. Tak cukupkah setiaku hingga tak pantas menemani perjalanan hidupmu. Berlebihankah manjaku sampai kau menolak ada berjuang bersamaku. Entah apa itu janji suci mengapa begitu sulit untuk dipenuhi.

Hujan pun jatuh, tergesa-gesa tanpa gemuruh. Sekelebat jingga yang memudar membentuk bayanganmu samar.  Betapa setiap garis wajahmu yang begitu kukenal tak pernah membuatku merasa menyesal. Mungkin aku hanya bimbang, bisakah aku terus berpura-pura senang. Sepertimu, seperti tawamu. Haruskah aku melangkah pergi atau berbalik kembali.

Aku, sayang bagaikan petang. Belumlah malam, siangpun temaram. Ajari aku memanja pada cantiknya senja, berjuang layaknya terik siang atau biarkan aku pergi mendatang malam, mengulang pagi.

Thursday, July 3, 2014

Pintaku Saat Kita Jauh


Saat aku sedang ragu, yakinkanlah aku tentang setiamu
Saat aku sedang rindu, tataplah mataku dan nyatakan cintamu
Saat aku sedang marah, dengarkan omelanku dan beri aku waktu
Saat aku sedang sedih, ceritakan masa depan dan pancing tawaku
Saat aku sedang bosan, nyanyikanlah untukku sebuah lagu
Saat aku sedang letih, bimbinglah aku pada lelapku
Saat aku mulai menyerah, datanglah dan kuatkan aku


Juli

Hujan Bulan Juni
-- Sapardi Djoko Damono
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu


Andai aku rintik hujan, akulah hujan bulan Juli
Yang  tak tabah, bijak apalagi arif
Aku begitu tergesa-gesa, keras kepala dan egois
-- Adelina Eka Shafetsila