Saya tumbuh dan tinggal dalam
lingkungan yang heterogen terutama dalam hal beragama. Keluarga besar saya
hampir semuanya beragama islam dan seperti yang sudah disabdakan nabi Muhammad,
islam saja bermacam-macam ragamnya. Muhammadiyah, salafiyah, nahdatul ulama,
wahabi, nasionalis, liberalis dan lain sebagainya. Tidak lagi mengherankan
ketika hari raya, keluarga kami bisa mengadakan 2 bahkan 3 kloter silaturahim
karena perbedaan perhitungan bulan. Tidak lagi mengejutkan ketika seorang
saudara yang istiqomah dengan penutup wajahnya menepuk tangan saya ketika kami
makan soto ayam bersama karena saya meniup makanan yang hendak saya lahap. Hal
seperti terus berlanjut hingga saya kuliah bahkan menikah. Saya pernah ditolak
ikut pengajian di masjid kampus karena saya dan penyelenggara “dianggap”
mempunyai harakah yang berbeda. Juga
mengenai hal pertama yang ditanyakan calon ibu mertua saya ketika datang
melamar adalah apa weton saya. Sayapun sedikit terbiasa dengan saudara yang
menikah beda agama. Bukan berarti saya sepaham dengan mereka yang seolah-olah
mengatasnamakan cinta adalah segala-galanya, tidak. Namun keadaan seperti itu
tidak mengubah hubungan kekerabatan dan perasaan personal saya terhadap
orang-orang tersebut. Saya merasa tidak pantas mengatakan mereka salah dan saya
yang benar. Sayapun tidak sampai hati menghujat dan menjauhi mereka.
Belakangan muncul fenomena LGBT
(Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender) dengan disahkannya pernikahan sesame
jenis di Amrik sana. Pendapat saya? Jelas saya tidak sepaham dengan mereka.
Hati nurani saya terganggu dan saya sungguh berharap LGBT itu jangan sampai ada
apalagi hingga dianggap sah. Tetapi perlukah saya menghujat, memaki,
menggunakan bahasa kotor untuk menyatakan ketidaksetujuan saya? Sekali lagi
saya tidak sampai hati. Dan sayapun tidak suka dengan cacian yang ditujukan
kepada mereka hampir sama tidak sukanya dengan LGBT itu sendiri. Saya yakin
dibalik pengesahan undang-undang itu ada perjuangan yang luar biasa dari
“penderita” LGBT tersebut. Lantas
mengapa mereka berjuang? Karena mereka merasa terkucilkan. Mereka bukannya
diberi uluran tangan untuk disembuhkan tetapi mereka dicaci, dihina, bahkan
mungkin mengalami kekerasan dari orang-orang yang merasa dirinya lebih baik
dari binatang dalam hal orientasi seksual. Bukankah nabi Luth tidak mencaci dan
menghina bangsa Sodom? Mengapa tidak kita doakan saja mereka? Semoga mereka
yang “sakit” ini dapat menemukan jalan kebenaran. Biarlah Tuhan yang memutuskan
dengan segala kuasaNya, apakah hidayah ataukah azab bagi mereka.