Thursday, July 2, 2015

Perbedaan


Saya tumbuh dan tinggal dalam lingkungan yang heterogen terutama dalam hal beragama. Keluarga besar saya hampir semuanya beragama islam dan seperti yang sudah disabdakan nabi Muhammad, islam saja bermacam-macam ragamnya. Muhammadiyah, salafiyah, nahdatul ulama, wahabi, nasionalis, liberalis dan lain sebagainya. Tidak lagi mengherankan ketika hari raya, keluarga kami bisa mengadakan 2 bahkan 3 kloter silaturahim karena perbedaan perhitungan bulan. Tidak lagi mengejutkan ketika seorang saudara yang istiqomah dengan penutup wajahnya menepuk tangan saya ketika kami makan soto ayam bersama karena saya meniup makanan yang hendak saya lahap. Hal seperti terus berlanjut hingga saya kuliah bahkan menikah. Saya pernah ditolak ikut pengajian di masjid kampus karena saya dan penyelenggara “dianggap” mempunyai harakah yang berbeda. Juga mengenai hal pertama yang ditanyakan calon ibu mertua saya ketika datang melamar adalah apa weton saya. Sayapun sedikit terbiasa dengan saudara yang menikah beda agama. Bukan berarti saya sepaham dengan mereka yang seolah-olah mengatasnamakan cinta adalah segala-galanya, tidak. Namun keadaan seperti itu tidak mengubah hubungan kekerabatan dan perasaan personal saya terhadap orang-orang tersebut. Saya merasa tidak pantas mengatakan mereka salah dan saya yang benar. Sayapun tidak sampai hati menghujat dan menjauhi mereka.


Belakangan muncul fenomena LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender) dengan disahkannya pernikahan sesame jenis di Amrik sana. Pendapat saya? Jelas saya tidak sepaham dengan mereka. Hati nurani saya terganggu dan saya sungguh berharap LGBT itu jangan sampai ada apalagi hingga dianggap sah. Tetapi perlukah saya menghujat, memaki, menggunakan bahasa kotor untuk menyatakan ketidaksetujuan saya? Sekali lagi saya tidak sampai hati. Dan sayapun tidak suka dengan cacian yang ditujukan kepada mereka hampir sama tidak sukanya dengan LGBT itu sendiri. Saya yakin dibalik pengesahan undang-undang itu ada perjuangan yang luar biasa dari “penderita” LGBT  tersebut. Lantas mengapa mereka berjuang? Karena mereka merasa terkucilkan. Mereka bukannya diberi uluran tangan untuk disembuhkan tetapi mereka dicaci, dihina, bahkan mungkin mengalami kekerasan dari orang-orang yang merasa dirinya lebih baik dari binatang dalam hal orientasi seksual. Bukankah nabi Luth tidak mencaci dan menghina bangsa Sodom? Mengapa tidak kita doakan saja mereka? Semoga mereka yang “sakit” ini dapat menemukan jalan kebenaran. Biarlah Tuhan yang memutuskan dengan segala kuasaNya, apakah hidayah ataukah azab bagi mereka.