Saturday, February 25, 2012

Ketika Menjadi yang Minoritas

Dulu rektor UNNES berkata saat pembekalan,"Jika disana kalian menangis, berarti kalian telah gagal!"
-- Dan itu berarti aku telah gagal, tidak hanya sekali, bahkan berkali-kali.
Berat? Iya. Bukan kalah medan atau susah makan, hanya merasa kesepian.
Menjadi SM-3T --Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Teluar dan Tertinggal yang ditempatkan di kabupaten Aceh Besar sebagian besar sudah mendapatkan fasilitas yang memadai. Aku ditempatkan di sebuah SMA Swasta Bina Nusa Lampanah yang baru 3 hari yang lalu berubah nama menjadi SMA Negeri 3 Seulimeum. Sebuah sekolah yang terletak di lembah Gunung Seulawah, berbukit-bukit namun sekaligus berbatasan dengan pantai selat Malaka. Walaupun dengan keterbatasan sarana transportasi umum, tempat ini adalah sebuah perpaduan alam yang sangat indah dengan ikan laut yang melimpah.


Sebuah sekolah dengan sejarah yang luar biasa. Di bangun untuk menampung anak-anak putus sekolah, yang tidak mampu melanjutkan sekolah di kota (Banda Aceh -red). Dibangun dari swadaya masyarakat setempat dengan kerja sama dan kerja keras sedikit demi sedikit. Lokasinya yang terletak > 2 KM dari kampung warga juga membuat anak-anak sekolah tersebut perlu mengorbankan sedikit peluh dan sol sepatunya untuk berangkat ke sekolah berjalan kaki. Dalam penglihatan sepintas hal itu terlihat sebagai pengorbanan yang luar biasa untuk pendidikan. Apa itu cukup? 

Selama 2 bulan 13 hari disini, aku sudah mulai merasakan, meraba, menelisik lapis demi lapis kehidupan masyarakat yang secara langsung atau tidak langsung bersinggungan dengan kegiatan yang aku lakukan. Sekolah ini tidak memiliki guru satu-pun. Semula, sekolah ini diampu oleh guru SMP N 4 Seulimeum yang letaknya bersebelahan dan yang juga dikepalai oleh kepala sekolah yang sama. Kini dengan kehadiran 6 orang peserta SM-3T, semua tugas guru dialihkan kepada kami. Hanya Tuhan yang tahu apakah akan membuahkan hasil yang baik membebankan tugas mengajar yang seharusnya diampu oleh 15 guru mata pelajaran, dipikul oleh hanya 6 guru. Kelas X kami beranggotakan 17 anak, kelas XI beranggotakan 21 anak, dan kelas XII beranggotakan 13 anak. Anak-anak yang sangat dibanggakan, yang diharapkan oleh semua orang serta yang di"gadhang-gadhang" kelak akan menjadi tentara, bidan, hingga pramugari. Bel masuk sekolah pukul 08.00 sepertinya kurang keras untuk memanggil mereka. Hanya mungkin sekitar 3 atau 4 anak yang baru menampakan batang hidungnya. Tak bisa disalahkan. Rumah yang jauh, kegiatan malam mereka yang padat (mengaji di malam hari, menginap di tempat mengaji dan baru pulang keesokan paginya) atau alasan membantu orang tua mereka di sawah. Pernah suatu ketika di kelas hanya duduk 3 orang anak dan surat izin menumpuk di atas meja guru. Sungguh anak yang berbakti terhadap orang tua, sungguh.
Kendala yang dihadapi di sini yaitu bahasa. Bahasa Aceh sungguh bahasa yang luar biasa, lebih sulit dibandingkan bahasa Inggris walaupun tidak memiliki tenses. Tulisan dan cara membacanya berbeda, serta memiliki kemiripan bunyi untuk beberapa kata. Saya akui, orang Aceh adalah orang yang sangat menjunjung tinggi bahasa daerah mereka. Dalam pidato formal bupati hingga khutbah sholat Jumat apalagi percakapan sehari-hari di rumah, mereka terbiasa menggunakan bahasa daerah. Kesulitannya, anak-anak sedari kecil tidak terbiasa dengan bahasa Indonesia. Mereka paham dan menggunakan bahasa Indonesia hanya ketika bercakap-cakap dengan orang non-Aceh, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dan saat menonton acara televisi nasional.
Masalah yang lain adalah sifat, sikap, kepribadian, pekerti (bedanya apa ya?) anak-anak itu. Kepala dinas pendidikan Aceh Besar pernah mengatakan, "Orang sini pemalas. Ini terjadi karena kedai-kedai kopi itu".
Hanya sekedar info, kedai kopi di sini sungguh luar biasa. Banyak dan selalu ramai dikunjungi pelanggan. Di setiap perkampungan pasti memiliki lebih dari satu kedai kopi. Dan di kota? Ukh, komplit pakai wifi area.  Jika kita keluar rumah pukul 06.30 (setengah jam setelah sholat subuh di masjid), kita bisa melihat sederet orang sudah duduk santai sambil menyeruput kopi dan melahap timphan (sejenis kue basah dari ubi). Anehnya hingga kedai ini tutup (sekitar jam 22.00 jika di kampung), tetap saja ramai dikunjungi orang apalagi saat musim pertandingan sepak bola. 
Yah, di lingkungan seperti ini, anak-anak malas membaca, belajar, bahkan rasa ingin tahunya saja sangatlah kurang. Ada semacam kebiasaan yang sulit diubah bahkan tidak mungkin diubah oleh kami yang bukan orang pribumi. Sikap anak-anak tehadap guru yang kurang menghormati dan menghargai siapa kami.

Apa yang harus aku lakukan? Cuek? Tutup mata? Let it flow? Aku hanya ingin keberadaan aku disini setidaknya membawa manfaat, tak hanya sebagai formalitas program pemerintah. 
-- Tuhan, kumohon berikan jalan untuk semua tuntutan dan ujian...

-Desperately missing home-