Friday, October 14, 2016

Diinan Umur Enam Bulan

Diinan umur enam bulan beratnya 7,4 kg. Saya sudah terjun langsung dengan mpasinya. Karena situasi yang tidak terkendali dan sebagai ibu saya sudah tidak tahan dengan semua hujatan ini, Diinan mpasi dini. Seharusnya dia baru mulai menu tunggal, dia sudah mulai mpasi 4 bintang. Yasudah, ampuni hamba ya Alloh..

Diinan sudah bisa menengok kalau dipanggil namanya, sudah suka nonton iklan di TV, dan tengkurap dengan posisi tangan lurus menyangga tubuhnya. Rambutnya? Masih a la kadarnya. Tapi yang paling menggembirakan Diinan sudah jarang sekali menangis dan sudah dekat dengan keluarga ayahnya.

Keluarga kami? Masih begini-begini saja. Ayah masih pulang sebulan atau dua bulan sekali. Yah..standar keluarga bahagiaku sepertinya harus diturunkan. Karena keluarga si ayah banyak yang LDR, jadi mungkin ini adalah hal yang biasa saja. Sudahlah, terima nasib.

Harapannya Diinan bisa menjadi lelaki sehat, sholeh, cerdas, rajin dan mementingkan kebahagiaan akhiratnya melebihi dunia dan seisinya. Aamiin.

NB: Ibu sayang Diinan

Friday, October 7, 2016

Depresi

Di berbagai media massa sedang marak pemberitaan ibu yang membunuh anaknya karena depresi. Lalu tiba-tiba seliweran postingan mengenai post partum syndrome (PPS) di Facebook. Sayapun sebagai wanita baru tahu soal PPS ini belakangan. Apalagi bagi kaum pria? Mereka ngerti? Mungkin seribu satu. Lha, suami saya sendiri pernah saya bagikan link mengenai PPS dia males baca. Padahal, peran kaum pria terutama sebagai suami sangatlah besar terhadap stabilitas psikologis wanitanya.

Kembali kepada si ibu yang "jahat" itu. Setelah saya merasakan menjadi ibu, saya mungkin bisa sedikit merasakan "kemarahan" yang kadang bergejolak. Entah karena anak rewel, nggak doyan makan, berat badan kurang, sakit-sakitan, belum tumbuh rambut, digigit nyamuk dan masih banyak lagi. Boleh percaya boleh tidak, menjadi ibu adalah siap menjadi pesakitan/terdakwa/tersangka yang selalu disalahkan atas segala sesuatu yang terjadi pada anak. Perkara kuku anak yang sedikit panjang bisa muncul stigma "ibunya pemalas". Baju anak ada bekas getah pisang, ibu dicap "ibu yang jorok". Dan masih banyak lagi.

Lalu bagaimana solusinya jika memang sudah "kodrat"nya demikian? Saya rasa, seberapa bagus komunikasi dengan orang terdekat bisa menjadi salah satu solusi selain tawakal kepada yang kuasa tentunya. Misal, orang terdekatnya adalah suami. Bagaimana posisi suami bagi sang istri atau sebaliknya. Apakah suami hanya sekedar mesim ATM. Sekalinya di rumah, ia akan sibuk dengan gadgetnya? Atau sejenak bermain dengan anak a la kadarnya lalu ketika anak tidur ia kembali ke laptop? Apakah istri hanya perlu makan, tidur dan shopping yang cukup? Apakah istri tidak perlu diposisikan sebagai teman tersayang lagi?

Oh, saya tidak meng-generalisir. Ada suami yang peka, yang mau belajar memperbaiki diri. Ada juga istri yang kuat dan masih berpijak di bumi tulus ikhlas hanya mengharap balasan dari Tuhannya. Dan tentunya saya selalu berharap semoga semakin banyak keluarga harmonis, sakinah mawaddah dan rahmah sehingga tidak ada lagi anak tak berdosa menjadi korbannya.

NB: Tentu tulisan ini tak bisa mentah-mentah menjadi solusi. Hanya sebagai bentuk keprihatinan. Ibu-ibu di manapun berada, yang kuat yaa.. Kita kudu bakoh. Ini tak akan selamanya. Ingatlah senyum manis anak-anak kita.

Sunday, October 2, 2016

Diinan Road to Jogja

Untuk yang pertama kalinya Diinan pergi ke Jogja. Untuk yang pertama kalinya pula Diinan naik kereta. Kamis siang jam 11.00 kami naik kereta Joglokerto dari Kroya. Pesan tiket KROYA-YOGYAKARTA. Kami turun di stasiun Lempuyangan. Dan itu SALAH. Kalau mau turun di Lempuyangan, maka beli tiketnya jurusan Lempuyangan. Kalau jurusan Yogyakarta, seharusnya turun di stasiun Tugu. Maafkan, baru pertama kali. Saya juga baru tahu ini ketika akan beli tiket pulang.

Joglokerto kereta ekonomi rasa bisnis. Cukup nyamanlah untuk perjalanan 2,5 jam dengan harga tiket 60K. Diinan tidur di separuh perjalanannya. Sisanya, tertawa gembira. Sampai Lempuyangan, kami naik taksi. Gak ada blue bird lho ya, di Jogja. Dari Lempuyangan - Condong Catur taksi tanpa argo dibandrol 70K. Dan itu kemahalan. Lagi-lagi, saya tahu kalau kemahalan sewaktu pulang. Naik taksi yang berargo gak nyampe 50K.

Ngapain di Jogja? Baru nge-Mall. Itupun yang dekat Condong Catur. Hartono Mall. Mall yang masih sepi. Belum ngetrip a la adventures gitu. Targetnya, masih sebatas belajar naik kereta. Lain kali, gembira loka, Jogja bay, malioboro, mangunan, gunung kidul dan segala pesonanya, taman pelangi, taman sari dan taman lainnya, lain kali. Semoga ada rejeki.

Joglokerto dari Lempuyangan (bukan Yogyakarta) depart jam 7 pagi. Wah, bakal buru-buru nih. Cari kereta yang siangan lah. Akhirnya naik KA Pasundan. Ternyata, tetoottt... Keretanya jauh dari ekspektasi Joglokerto. Tempat duduk 3-2, lutut ketemu lutut, barang bawaan banyak (tempat tas di atas penuh), lebih lama (lebih dari 3 jam perjalanan) dan lebih mahal (84K). Sempat khawatir Diinan bakal rewel, tapi ternyataaa.. Diinan anteng, seanteng naik Joglokerto. Ugh, legaaaa...cium-cium Diinan.

Ok, kereta ekonomi dinyatakan LULUS. Mission: ACCOMPLISHED

Tips:
1. Untuk ibu-ibu penumpang kereta ekonomi, punya bayi, nunggu di peron panas dan lama, bisa masuk ruang menyusui. Adem.

2. Lebih nyaman beli tiket online. Sehingga sampai di stasiun tinggal print tiket. Sebab, untuk stasiun seramai Lempuyangan, nggak tahan deh..bawa bayi ngantri.

3. Dalam kereta api ekonomi (pengalaman saya di KA Pasundan) terdapat tempat duduk no 1A, 1B, 2A dan 2B yang dikosongkan di setiap gerbong. Tempat duduk tersebut bisa ditukarkan khusus bagi IBU HAMIL, PEMBAWA BAYI, LANSIA dan PENYANDANG CACAT yang membutuhkan kenyamanan ekstra. Jadi, tidak perlu berjubel dengan penumpang lain.


Diinan suka ngeliatin orang lain makan sambil mulutnya keclap-keclap 😅😂