Suatu hari, saya
main ke rumah seorang kenalan yang sudah menjadi ibu dari anak usia 4 tahun. Sedang
asyik ngobrol, si anak rewel karena kepengin main air. Si ibu bilang, “ini ada
ibu guru lho! Gak boleh nakal.” Sambil memegang pundak saya. Saya hanya bisa nyengir.
Banyak anggapan
kalau anak sudah dipegang oleh yang namanya “guru” dia akan menjadi baik dalam segala hal. Memang benar, ada
perbedaan yang jauh antara anak yang “makan bangku sekolah” dengan yang tidak. Dari
sopan santun, tata bahasa, intelegensi, kemampuan sosial yang “beradab” dan
lain-lain. Tapi apa iya, peran guru sedemikian sentral di kehidupan anak. Kalau
ada anak “nakal”, maka dengan mudahnya berikan saja ke “guru” kemudian dia akan
menjadi “tidak nakal” berdasarkan standar yang dimiliki orang tua. “Ini ada ibu
guru lho, gak boleh nakal!” Lha, dari tadi juga udah ada emaknya.
Jika orang tua
tidak sanggup mengarahkan anaknya, bagaimana mungkin orang lain bisa. Menurut saya, jika memang orang tua perlu
bantuan, (bantuan lho ya! Bukan menyerahkan sepenuhnya), maka ayo, bareng-bareng
mengarahkan si anak.
----
Pengalaman,
pernah mengamati seorang anak yang sangat berprestasi juga berperilaku baik di
sekolah, tetapi hal tersebut berbanding
terbalik dengan apa yang terjadi di rumah. Kebetulan dia seorang anak yang
kehidupannya hanya berpusar di rumah dan di sekolah. Tak punya teman bermain
dirumah kecuali mungkin hewan peliharaannya. Seorang anak yang di usia (13-14
tahu n) biasanyasenang berkumpul dengan teman-temannya, benci pelajaran, bahkan
suka bolos. Ajaibnya, dia suka mengerjakan PR, belajar bab selanjutnya yang
belum diajarkan guru. Alhasil, kegiatannya cuma sekolah, pulang lalu makan,
tidur siang, ngerjakan PR, nonton TV, belajar, tidur malam, sekolah lagi dst.
Tempatnya bersosialisasi cuma ayah dan bundanya. Ayah seorang wiraswasta,
bundanya ibu rumah tangga. Dilihat dari kuantitas bersama keluarga, aku melihat
tidak kurang sama sekali. Semua kebutuhan materi yang primer, sekunder bahkan
tersier terpenuhi dengan baik bahkan cenderung dimanja. Hanya saja, kedua orang
tuanya terkesan menganggap diri mereka eksklusif. Menuntut semua anggota
keluarga berprestasi di atas rata-rata dan bersikap sangat terhormat juga
cenderung menganggap remeh (atau lebih tepatnya tidak peduli) terhadap
lingkungan sosial selain keluarga.
Hasilnya, sikap
dia di rumah: “berani” terhadap siapapun yang ada di rumah itu, merasa
superior, sulit berbagi dengan anggota keluarga yang lain, sulit untuk
menyayangi, cenderung meremehkan orang lain (tidak merasa membutuhkan orang
lain). Parahnya, ketika dia beserta kedua orang tuanya keluar dari lingkungan
rumah, orang tua jarang memberikan compliment
(pujian) terhadap apa yang sudah dia capai dihadapan orang lain. Kedua orang
tuanya selalu mengungkapkan sisi negatif si anak di hadapan orang lain sebagai
bahan lelucon. Akibatnya, si anak menjadi introvert, (mungkin) ada dendam untuk
membalas, sulit bersikap menyenangkan (mungkin karena tidak tahu bagaimana cara
menyenangkan orang lain), berselera humor yang sangat buruk (membuat lelucon
atas dasar kekurangan orang lain), dan yang terasa paling menyedihkan tidak
mempunyai teman dekat yang memang ingin berteman dengannya, bukan karena ingin
mengambil untung darinya (mencontek PR misalnya).
Orang tua, betapa pentingnya kalian bagi anak., dan ketahuilah tugas
anak itu bukan hanya sekolah atau mengaji. Hak anak bukan hanya uang, makan, dan
pakaian.
*semua hal di atas
murni subyektif. Parahnya saya bukan seorang ahli dalam hal mendidik. Maaf, jika terkesan sok tau dan menggurui. ^_^ Saya masih sangat membutuhkan masukan karena bisa saja semua yang saya katakan itu salah