Mahasiswa konon disebut sebagai makhluk dengan tingkat idealisme teratas. Entah apa yang diperbuat oleh lingkungan bernama Universitas, di mana masyarakatnya tampak seperti tak pernah puas. Dikelilingi oleh diskusi sana sini hingga berujung orasi yang dikudang sebagai sebuah solusi. Bagaimana dengan realisasi?
Keluar kampus orang tak lagi bergelut dengan rumus. Bekerja apa saja, guru menjadi bankir, akuntan memilih menyingkir. Jadi tukang parkir mungkin pilihan terakhir. Tak sedikit orang yang langsung memilih menikah, ada yang mengharap hubungan sah, ada juga tuntutan mertua akan resepsi yang wah.
Sayapun sama, menikah lalu beranak tak seberapa lama. Bekerja? Ya, ala kadarnya saja. Lalu idealisme yang dikukuhkan dengan toga bertabrakan dengan hiruk pikuknya rumah tangga. Sebab yang namanya keluarga bukan hanya hidup berdua lalu tiga. Kakek nenek bahkan tetangga tak dielakan ikut komentar juga.
Seperti akhir-akhir ini. Setengah mati saya berjuang untuk ASI. Pengalaman mereka seolah-olah menjadi bukti bahwa merekalah yang paling benar dalam mengurus bayi. Berbagai merk dan metode pemberian susu sapi dilontarkan sana sini. Bahkan terdengar opini soal pisang dan sesuap nasi. Saya? Di sini saya berdiri sendiri bersikap seolah-olah semuanya basa basi. Mereka menganggap saya tak tahu diri, tak kasihan dengan si bayi. Biarlah, tak ussh dimasukan dalam hati.
Lihat? Apa gunanya kita beredukasi tinggi? Biasa melakukan penyuluhan sana sini, beretorika penuh teori. Tapi apa yang terjadi? Bapak, ibu, mertua, tetangga bahkan suami, tak bisa diajak diskusi. Kok begini saya disuruh pergi, menitipkan si bayi dengan susu sapi. Apa gunanya uang yang saya cari? Kalo akhirnya menjerumuskan anak sendiri.
Saya tidak akan mengalah karena saya tahu saya tidak salah.
-- Ananda, kita bisa melalui ini berdua karena kita kuat dan keras kepala. Mungkin karena kita lahir di rasi bintang yang sama. Biarlah kita sendiri, semoga kelak mereka akan mengerti.