Saturday, May 21, 2016

Idealisme vs Realisme

Mahasiswa konon disebut sebagai makhluk dengan tingkat idealisme teratas. Entah apa yang diperbuat oleh lingkungan bernama Universitas, di mana masyarakatnya tampak seperti tak pernah puas. Dikelilingi oleh diskusi sana sini hingga berujung orasi yang dikudang sebagai sebuah solusi. Bagaimana dengan realisasi?

Keluar kampus orang tak lagi bergelut dengan rumus. Bekerja apa saja, guru menjadi bankir, akuntan memilih menyingkir. Jadi tukang parkir mungkin pilihan terakhir. Tak sedikit orang yang langsung memilih menikah, ada yang mengharap hubungan sah, ada juga tuntutan mertua akan resepsi yang wah.

Sayapun sama, menikah lalu beranak tak seberapa lama. Bekerja? Ya, ala kadarnya saja. Lalu idealisme yang dikukuhkan dengan toga bertabrakan dengan hiruk pikuknya rumah tangga. Sebab yang namanya keluarga bukan hanya hidup berdua lalu tiga. Kakek nenek bahkan tetangga tak dielakan ikut komentar juga.

Seperti akhir-akhir ini. Setengah mati saya berjuang untuk ASI. Pengalaman mereka seolah-olah menjadi bukti bahwa merekalah yang paling benar dalam mengurus bayi. Berbagai merk dan metode pemberian susu sapi dilontarkan sana sini. Bahkan terdengar opini soal pisang dan sesuap nasi. Saya? Di sini saya berdiri sendiri bersikap seolah-olah semuanya basa basi. Mereka menganggap saya tak tahu diri, tak kasihan dengan si bayi. Biarlah, tak ussh dimasukan dalam hati.

Lihat? Apa gunanya kita beredukasi tinggi? Biasa melakukan penyuluhan sana sini, beretorika penuh teori. Tapi apa yang terjadi? Bapak, ibu, mertua, tetangga bahkan suami, tak bisa diajak diskusi. Kok begini saya disuruh pergi, menitipkan si bayi dengan susu sapi. Apa gunanya uang yang saya cari? Kalo akhirnya menjerumuskan anak sendiri.

Saya tidak akan mengalah karena saya tahu saya tidak salah.

-- Ananda, kita bisa melalui ini berdua karena kita kuat dan keras kepala. Mungkin karena kita lahir di rasi bintang yang sama. Biarlah kita sendiri, semoga kelak mereka akan mengerti.

Wednesday, May 18, 2016

Semua Akan (P)Indah pada Waktunya

Akhir-akhir ini semua seperti terburu-buru. Terburu rindu yang menggebu hingga hari berganti bukan lagi soal waktu. Apa kabar perindu? Kulihat kau gelisah, kurus kering dan tampak marah. Adakah yang membuatmu gundah, mengganggumu hingga kau terlihat pasrah. Kau tak lagi bersemangat menghitung tetes hujan yang jatuh ke tanah. Apakah kau sudah menyerah? Keadaan memang sedang tak mudah. Yang kau rindu tak lagi menganggapmu segalanya sebab ia sudah punya yang pertama. Bagaimanapun kau harus tetap bahagia. Seperti saat kau duduk di lantai perpustakaan tua atau ketika makan malam berdua dengan lilin yang menyala. Perindu, terlelaplah dalam dekapan hangat dan kecupan yang selembut jus alpukat. Walau semua itu tak nyata, sekali lagi kau harus tetap bahagia. Karena semua akan (p)indah pada waktunya.

Saturday, May 14, 2016

Diinan Umur Sebulan

Diinan umur sebulan, ia sedang senang-senangnya tidur dalam pelukan. Syukurlah batuk pileknya sudah tak lagi berkepanjangan. Berat badannya pun bertambah nol koma sembilan.

Diinan umur sebulan, anak kesayangan ujung segala impian. Ia adalah alasan semua pengorbanan. Materi, tenaga, waktu, dan segenap doa kami berikan. Agar ia tumbuh dalam sebaik-baik keadaan.

Diinan umur sebulan, semoga Tuhan senantiasa mencurahkan kebahagiaan, segala kebaikan dan mengistiqomahkan ibadahnya agar selalu tulus dalam penghambaan. 

-- Diinan, jagalah selalu kehormatanmu di hadapan Tuhan.