Thursday, July 13, 2017

Diinan Umur Lima Belas Bulan

Akhir-akhir ini sepertinya saya jadi lebih sensitif. Banyak hal yang saya pikirin. Termasuk perkataan orang-orang. Atau mungkin karena akhir-akhir ini banyak orang yang menyinggung prinsip saya. Seperti pola asuh anak, yah..cuma perkara cara makan sih. Menurutku, makan minum itu ya sambil duduk. Apa salahnya melatih anak untuk duduk ketika makan dan minum? Atau cuma perkara ucapan. Kenapa harus berbohong di sana tikus cuma karena nggak ngebolehin anak mainan sepeda? Atau perkara kemandirian. Kenapa harus selalu nuntun anak yang sudah bisa jalan? Selama tidak berpotensi cedera parah, kenapa gak dibiarkan saja? Oke, saya bisa lalai. Tapi bukan berarti over protektif.

Lagi soal keuangan. Saya bukan orang yang suka menghambur-hamburkan uang. Saya bukan orang yang punya selera fashion mahal. Tapi memang tidak terlalu "ngeman" sama uang. Ada penjual sayur datang ke rumah. Ibu-ibu ngerubung. "Alaah, wong barang elek kayak kiye koh regane semeno? Nang nggone kae be mung semene" (Alaah, barang jelek kayak gini kok harganya segitu? Di tempat si anu aja cuma segini). Nawar 1000 r-u-p-i-a-h. Saya oke aja dengan nawar. Tapi kenapa harus menghina "jelek"? Kalo situ tahu barang jelek, ngapain beli? Orang penjualnya udah dateng nyamperin. Kalo kita beli di tempat lain kan kita harus "lebih repot". Juga apa iya uang seribu lantas bikin kita jadi melarat? atau langsung bikin penjualnya jadi kaya? Lalu soal ngontrak rumah yang kata suami harganya puluhan juta di Tangerang. Dia bilang "eman-eman". Well, saya bilang "tidak". "Iyalah, orang aku yang kerja." katanya. Oke, saya bertekad untuk ganti suami, eh kerja maksudnya. Suatu saat. Karena bagi saya, uang puluhan juta itu untuk membayar kebersamaan keluarga, menikmati perkembangan anak dalam masa golden age, uang segitu itu gak ada apa-apanya. Tapi suami berpendapat lain. Yasudah.

Lalu suami cerita, "istrinya temenku juga orangnya kayak kamu. Gak mau kredit rumah. Gak mau riba." Ada yang salah dengan kata-kata itu? Tidak? Bagiku terdengar aneh. Iya, sepertinya saya yang kelewat sensitif. Coba bandingkan, "istrinya temenku juga orangnya kayak nabi Muhammad dan orang-orang yang gak mau dilaknat Alloh karena riba. Gak mau kredit rumah. Gak mau riba." Iya sih, kepanjangan. Tapi seolah-olah aku sok suci dan semuanya penuh dosa. 😂

Eh, ini malam jumat kliwon. Wetonnya Diinan. Kalo kata kakak ipar, waktunya Diinan dicekokin. Iya, iyaaa..syirik. Tauuk! Kalo kata penganut sunnah yang entu, waktunya hubungan suami istri. Iya..iyaa..gak ada sunnah begituan malem jumat. Besok juga tepat 15 bulan usia Diinan. Postingan ini sekalian jadi remindernya ya? Aku ubah judulnya deh! Juga tepat H+19 lebaran. Suami masih belum pulang. Ngapain? Nyari uang dooongg..untuk orang yang gak mau KPR kayak gueee.. 😉 Jadi TKI sampe H+19 belum mudik? Au ah, lap! Lusa, juga doi ulang tahun. Mumpung inget. Ngucapin sekarang. Selamat ulang tahun (ah, belum tentu doi baca). Semoga tetap sabar menghadapi istri macam saya dan juga tetap dalam batas kesabaran saya. Wah, penutupnya panjang ya? Biarin! 😝 Diinaaaaannnn...sehat terus ya. Nggak gendut gak papa kok! Kemarin nimbang 8,6. Gak papa, alkhamdulillah. Kita pasti bisa melawan dunia yang keras inih! Semangaaattt!! 😍😘

Wednesday, July 12, 2017

Keluarga

Baru aku sadari kemungkinan akar masalah keluargaku. Kami ini prematur. Suamiku dulu belum siap berkeluarga. Mungkin dulu dia merasa "terpaksa". Saat kami baru menikah, kami tinggal di tempat yang seharusnya hanya dihuni 1 orang, dan kini sampai anak kami hampir berusia 15 bulan kami menempati hunian yang seharusnya untuk 2 orang. Bagiku bukan soal huniannya, tapi sepertinya itu masalah baginya.

Dari awal, ternyata kami beda prinsip. Suamiku sangat mengutamakan materi. Menikah butuh dana sekian-sekian-sekian. Seserahan dan mas kawin bagiku hanya nominal yang toh sewaktu-waktu bisa kami gunakan bersama. Tidak baginya.

Oleh orangtuaku, uang seserahan diberikan padaku untuk biaya hidup merantau di awal menikah. Tadinya orangtuaku menyarankan mengontrak daripada tinggal di kos-kosan. Tapi suamiku berpendapat lain. Sayang kalo ngontrak, katanya. Membuka tabungan haji akhirnya jadi pilihan. Semoga ini menjadi lebih berkah. Lalu saat ingin kujual semua perhiasan-perhiasan yang seharusnya sudah jadi milikku, juga tak dibolehkan. Padahal bukan haknya melarang. Tapi aku tak mau ribut. Biarlah benda-benda itu entah apa gunanya.

Kini kami hidup (masih) terpisah. Suamiku mungkin romantis tapi ternyata bukan tipe family man yang mengutamakan keutuhan keluarga.  Lagi-lagi materi. Semoga ada perubahan.

Diinan, maafkan ibu. Ibu gak tau harus bagaimana. Bisa saja pemikiran ibu ini yang salah. Ah, entahlah.

#randomthought