Di mana kita? Petang berselimut
pilu menyandang kenangan. Belumlah malam, siangpun bukan. Aku tak bisa berhenti
di tempat dan waktu yang memang seharusnya aku berdiri. Seperti halnya
mencintaimu, berhenti itu mati. Kau tahu apa yang begitu menyebalkan? Aku terus
menunggumu dan kamu selalu bilang kelak kita akan. Kau tahu apa yang begitu
jahat? Kau menyuruhku bahagia tanpa berani mengawal bahagiaku dari dekat. Lalu
kau menggerutu, mengiba dan mengubahku menjadi sosok nenek sihir yang
mengambil puteri terkasihmu.
Kau meninggalkanku di keadaan
yang pernah terpikirkan olehku pun enggan. Sadarkah kau aku begitu ketakutan saat kau
jatuhkan vonis perpisahan. Bagaimana rasanya tak buta namun tak lagi ada warna,
bagaimana rasanya tak tuli tapi semua mendadak sunyi dan bagaimana bisa aku ada
tapi tak merasa. Tak cukupkah setiaku hingga tak pantas menemani perjalanan
hidupmu. Berlebihankah manjaku sampai kau menolak ada berjuang bersamaku. Entah
apa itu janji suci mengapa begitu sulit untuk dipenuhi.
Hujan pun jatuh, tergesa-gesa
tanpa gemuruh. Sekelebat jingga yang memudar membentuk bayanganmu samar. Betapa setiap garis wajahmu yang begitu kukenal
tak pernah membuatku merasa menyesal. Mungkin aku hanya bimbang, bisakah aku
terus berpura-pura senang. Sepertimu, seperti tawamu. Haruskah aku melangkah
pergi atau berbalik kembali.
Aku, sayang bagaikan petang.
Belumlah malam, siangpun temaram. Ajari aku memanja pada cantiknya senja, berjuang layaknya terik siang atau biarkan aku pergi mendatang malam, mengulang pagi.
No comments:
Post a Comment