Thursday, July 10, 2014

Petang


Di mana kita? Petang berselimut pilu menyandang kenangan. Belumlah malam, siangpun bukan. Aku tak bisa berhenti di tempat dan waktu yang memang seharusnya aku berdiri. Seperti halnya mencintaimu, berhenti itu mati. Kau tahu apa yang begitu menyebalkan? Aku terus menunggumu dan kamu selalu bilang kelak kita akan. Kau tahu apa yang begitu jahat? Kau menyuruhku bahagia tanpa berani mengawal bahagiaku dari dekat. Lalu kau menggerutu, mengiba dan mengubahku menjadi sosok nenek sihir yang mengambil puteri terkasihmu.

Kau meninggalkanku di keadaan yang pernah terpikirkan olehku pun enggan. Sadarkah kau aku begitu ketakutan saat kau jatuhkan vonis perpisahan. Bagaimana rasanya tak buta namun tak lagi ada warna, bagaimana rasanya tak tuli tapi semua mendadak sunyi dan bagaimana bisa aku ada tapi tak merasa. Tak cukupkah setiaku hingga tak pantas menemani perjalanan hidupmu. Berlebihankah manjaku sampai kau menolak ada berjuang bersamaku. Entah apa itu janji suci mengapa begitu sulit untuk dipenuhi.

Hujan pun jatuh, tergesa-gesa tanpa gemuruh. Sekelebat jingga yang memudar membentuk bayanganmu samar.  Betapa setiap garis wajahmu yang begitu kukenal tak pernah membuatku merasa menyesal. Mungkin aku hanya bimbang, bisakah aku terus berpura-pura senang. Sepertimu, seperti tawamu. Haruskah aku melangkah pergi atau berbalik kembali.

Aku, sayang bagaikan petang. Belumlah malam, siangpun temaram. Ajari aku memanja pada cantiknya senja, berjuang layaknya terik siang atau biarkan aku pergi mendatang malam, mengulang pagi.

No comments:

Post a Comment