Tuesday, May 20, 2014

Upacara Kebangkitan Nasional

Na-si-o-nal bersifat kebangsaan; berkenaan atau berasal dari bangsa sendiri; meliputi suatu bangsa. (KBBI)

Tiga hari yang lalu saya nyekar ke makam eyang di Taman Makan Pahlawan Giri Tunggal Semarang. Pemakaman yang dikelilingi tembok hitam itu tertata apik dengan topi perang di atas pusara dan tanaman melati di atas kepala nisan. Setelah gerbang masuk ada semacam pergola yang diselusuri oleh tanaman rambat yang cukup rimbun, menjadikannya terowongan teduh bagi para peziarah yang masuk ke dalam lingkar tengah makam. Sore itu, ada sekumpulan pekerja makam yang sedang duduk merokok disepanjang jalan setapak, mengeluhkan lembur. Menunggu datangnya batu kerikil hitam penghias makam, katanya. “Bos ndhawuhi harus beres sebelum tanggal 20 mbak.” Oh, saya hanya manggut-manggut pura-pura paham. Berarti mereka hanya punya waktu kurang dari tiga hari untuk menaburkan batu-batu hiasan itu di makam sebanyak ini, batinku. Selesai mengirim doa dan menaburkan sedikit bunga di pusara eyang, saya melihat-lihat daftar nama yang di makamkan di tempat itu. Di atasnya terdapat tulisan, AKU GUGUR MEMBELA NEGARA, LANJUTKAN PERJUANGANKU. Dan semerta-merta aku ingat jika tanggal 20 Mei itu adalah peringatan hari kebangkitan nasional. 


Lagi-lagi tentang peringatan. Upacara yang terus menerus di ulang-ulang tiap tahunnya hanya menjadi prosesi seremonial tahunan yang tidak bermakna. Sebuah momentum, katanya. “Momentum untuk bangkit.” kata amanat pembina upacara yang membacakan pidato buatan tim naskah kepresidenan. Di saat Indonesia seharusnya sedang bangkit secara nasional, jujur dan akur, kita justru melihat calon-calon pemimpin kita sedang sibuk menghitung jatah kursi, jatah menteri, berebut kubu koalisi yang memegang media televisi dan mengumbar janji-janji yang tak pasti. Nasional itu bukan tentang satu-dua orang atau sekumpulan orang dan partai politik. Nasional itu tentang suatu bangsa yang besar, tentang semua yang ada dari Meulingge sampai Merauke, dari Sangihe hingga pulau Rote. Bagaimana kita, bukan kami ataupun mereka, tetapi kita bangkit bersama-sama. Kita sama-sama rindu akan rasa bangga terhadap bangsa kita sendiri, bangga bahwa kita adalah bagian dari bangsa itu, bangsa yang membanggakan. Leluhur kita tak perlu bangkit dari makamnya untuk berjuang karena kita ada di sini, di segala lini roda kehidupan yang akan melanjutkan perjuangan mereka. Berhentilah merasa benar, jadilah manusia yang benar. Berhentilah merasa pintar, jadilah manusia yang pintar. Kita sama-sama jenuh akan keterpurukan, jijik akan kebiadaban, bosan dengan kemiskinan dan jengah atas kebodohan. 

Saya sadar, saya di sini hanya berbicara. Jadi tolong ajari saya untuk menjadi orang yang berguna, yang bisa bangkit dan membangkitkan. Mari kita belajar bersama-sama untuk bisa melakukan tindakan nyata yang bukan hanya semata-mata prosesi upacara. Saya percaya bahwa kita bisa membangkitkan Indonesia.


Nyekar           : berziarah
Pergola    : jalan untuk pejalan kaki, di atasnya terdapat para-para untuk tanaman merambat sbg peneduh yg                                                ditopang oleh deretan tiang di kanan kiri jalan
Ndhawuhi     : (jawa) memerintahkan

Kulihat ibu pertiwiSedang bersusah hatiAir matamu berlinangMas intanmu terkenang

Hutan gunung sawah lautanSimpanan kekayaanKini ibu sedang laraMerintih dan berdoa

Kulihat ibu pertiwiKami datang berbaktiLihatlah putra-putrimuMenggembirakan ibu

Ibu kami tetap cintaPutramu yang setiaMenjaga harta pusakaUntuk nusa dan bangsa

No comments:

Post a Comment